Sabtu, 20 April 2013

ANALISIS TRANSAKSIONAL


ANALISIS TRANSAKSIONAL
Pengertian
Analisis Transaksional (AT) adalah salah satu pendekatan Psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. AT dapat dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri.

AT dikembangkan oleh Eric Berne tahun 1960 yang ditulisnya dalam buku Games People Play. Berne adalah seorang ahli ilmu jiwa terkenal dari kelompok Humanisme. Pendekatan analisis transaksional ini berlandaskan teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu : orang tua, orang dewasa, dan anak. Pada dasarnya teori analisis transaksional berasumsi bahwa orang-orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir, dan memutusakan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan- perasaannya.
Dalam mengembangkan pendekatan ini Eric Berne menggunakan berbagai bentuk permainan antara orang tua, orang dewasa dan anak. 
Dalam eksprerimen yang dilakukan Berne mencoba meneliti dan menjelaskan bagaimana status ego anak, orang dewasa dan orang tua, dalam interaksi satu sama lain, serta bagaimana gejala hubungan interpersonal ini muncul dalam berbagai bidang kehidupan seperti misalnya dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam sekolah, dan sebagainya.

Dari eksperimen ini Berne mengamati bahwa kehidupan sehari-hari banyak ditentukan oleh bagaimana ketiga status ego (anak, dewasa, dan orang tua) saling berinteraksi dan hubungan traksaksional antara ketiga status ego itu dapat mendorong pertumbuhan diri seseorang, tetapi juga dapat merupakan sumber-sumber gangguan psikologis. Percobaan Eric Berne ini dilakukan hamper 15 tahun dan akhirnya dia merumuskan hasil percobaannya itu dalam suatu teori yang disebut Analisis Transaksional dalam Psikoterapi yang diterbitkan pada tahun 1961. Selanjutnya tahun 1964 dia menulis pula tentang Games Pupil Play, dan tahun 1966 menerbitkan Principles of Group Treatment. Pengikut Eric Berne adalah Thomas Harris, Mc Neel J. dan R. Grinkers.

Tujuan:

Analisis transaksional bertujuan unt mengkaji secara mendalam proses transaksi
·         siapa – siapa yg terlibat di dalamnya
·         pesan apa yg dipertukarkan

Konsep-konsep utama

Konsep Dasar Pandangan tentang sikap manusia

Analisis Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministik yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan. Analisis Transaksional didasarkan pada asumsi atau anggapan bahwa orang mampu memahami keputusan-keputusan pada masa lalu dan kemudian dapat memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan kembali keputusan yang telah pernah diambil. Berne dalam pandangannya meyakini bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dan, dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.

Kata transaksi selalu mengacu pada proses pertukaran dalam suatu hubungan. Dalam komunikasi antarpribadi pun dikenal transaksi, yang dipertukarkan adalah pesan pesan baik verbal maupun nonverbal. Analisis transaksional sebenarnya bertujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan).

Perwakilan Ego

Dalam diri setiap manusia, seperti dikutip Collins (1983), memiliki tiga status ego. Sikap dasar ego yang mengacu pada sikap orang tua (Parent= P. exteropsychic); sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C, arheopsychic). Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap orang (baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua). AT menggunakan suatu sistem terapi yang berlamdaskan pada teori kepribadian yang menggunakan pola perwakilan ego yang erpisah; orang tua, orang dewasa, dan anak. Menurut corey (1988), bahwa ego orang tua adalah bagian kepribadian yang merupakan introyeksi dari orang tua atau subtitusi orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali oleh kita, maka apa yang dibayangkan adalah perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu situasi, atau kita merasa dan bertindak terhadap orang lain dengan cara yang sama dengan perasaaan dan tindakan orang tua kita terhadap diri kita. Ego orang tua berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua dalam diri kita bisa “orang tua pelindung” atau orang tua pengkritik”.
 Ego orang dewasa adalah pengolah data dan informasi., adalah bagian objektif dari kepribadian, juga menjadi bagian dari kepribadian yang mengetahui apa yang sedang terjadi. Dia tidak emosional dan meghakimi, tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan ekternal. Berdasarkan informasi yang tersedia, ego orang dewasa menghasilkan pemecahan yang paling baik untuk masalah-masalah tertentu.
Selanjutnya, ego anak berisi perasaan-perasaan, dorongan dan tindakan yang bersifat spontan, “anak” yang berada dalam diri kita bisa berupa “anak alamiah,” adalah anak yang impulsif, tak terlatih, spontan, dan ekspresif. Dia adalah bagian dari ego anak yang intuitif. Ada juga berupa “anak disesuiakan,” yaitu merupakan modifikasi-modifikasi yang dihasilkan oleh pengalaman traumatik, tuntutan-tuntutan, latihan, dan ketepatan-ketepatan tentang bagaimana caranya memperoleh perhatian.

Skenario Kehidupan dan Posisi Psikologi Dasar

Skenario kehidupan adalah ajaran orang tua yang kita pelajari dan keputusan awal yang dibuat oleh kita sebagai anak, selanjutnya dipahami oleh kita sebagai orang dewasa. Kita menerima pesan-pesan dengan demikian kita belajar dan menetapkan tentang bagaimana kita pada usia dini. Pesan verbal dan non verbal orang tua, mengkomunikasikan bagaimana mereka melihat dan bagimana merasakan diri kita. Kita membuat keputusan yang memberikan andil pada pembentukan perasaaan sebagai pemenang (perasaan “OK”) atau perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan “tidak OK”).

Hubungannya dengan konsep skenario, pesan-pesan dan perintah orang tua dan keputusan kita. Dalam hal ini, konsep AT memiliki empat posisi dasar yaitu;

Pertama, Saya OK—Kamu OK

Kedua, Saya OK—Kamu Tidak OK

Ketiga, Saya Tidak OK—Kamu OK

Keempat, Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK.

Masing-masing dari posisi itu berlandaskan pada keputusan yang dibuat seseorang sebagai hasil dari pengalaman masa kecil. Bila, keputusan yang telah diambil, maka umumnya dia akan bertahan pada keputusannya itu, kecuali bila ada intevensi (konselor atau kejadian tertentu) yang mengubahnya. Posisi yang sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi Saya OK—Kamu OK. Dalam posisi tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka. Saya OK—kamu tidak OK, adalah posisi orang yang memproyeksikan masalah-masalanya kepada orang lain dan biasanya melimpahkan kesalahan pada orang lain, ciri pada posisi ini menunjukan sikap arogan, menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan seseorang dari teralinasi. Saya Tidak OK—Kamu OK , adalah posisi orang yang mangalami depresi, merasa tidak kuasa dibanding dengan orang lain dan cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain daripada keinginan diri sendir. Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK, adalah posisi orang yang memupus semua harapan, bersikap pesimis, dan memandang hidup sebagai sesutau yang hampa.

Kebutuhan manusia akan belaian

Pada dasarnya setiap manusia memerlukan belaian dari orang lain, baik itu yang berlainan dalam bentuk fisik maupun emosional. AT memungut pandangan tentang motivasi manusia bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar berkaitan langsung dengan tingkah laku sehari-hari yang dapat diamati. Sejumlah kebutuhan dasar mencakup haus akan belainan, haus akan struktur, haus akan kesenangan dan haus akan pengakuan. Teori AT menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan yang bisa dicapai dalam bentuknya yang terbaik melalui keakraban. Hubungan yg akrab berlandaskan penerimaan posisi saya OK kamu OK di kedua belah pihak. Hubungan yg akrab lazimnya bertumpu pada penerimaan cinta di mana sikap defensive menjadi tidak perlu. Memberi dan menerima adalah ungkapan kenikmatan yang spontan alih-alih respon-respons terhadap upacara-upacara yang diprogram secara social. Keakraban adalah hbungan yang bebasa dari permainann karena tujuan-tujuannya tidak tersembunyi (Harris, 1967 hlm 151-152).

Jadi salah satu cara teori AT menjabarkan tigkah laku manusia adalah dalam kerangka penyusunan waktu yang melibatkan berbagai cara meperoleh belaian dari orang lain. Cara-cara itu berada pada suatu kontinum dari pengakuan-pengakuan yg diperoleh seseorang dari orang lain melalui upacara-upacara dan permainan-permainan, terhadap belaian-belaian yang diperoleh melalui suatu hubungan pribadi yg bermakna dan akrab.



Permainan-permainan yang kita mainkan

Para pendukung AT mendorong orang-orang untuk mengenali dan memahami perwakilan-perwakilan egonya. Alasannya adalah dengan mengakui ketiga perwakilan ego itu, orang-orang bisa membebaskan diri dari putusan- putusan anak yang telah usang dari pesan-pesan orang tua yg irrasional yang menyulitkan kehidupan mereka. AT mengajari orang bagian mana yang sebaiknya digunakan untuk membuat putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya. Disamping itu, para tokoh AT mengungkapkan bahwa orang-orang bisa memahami dialog internalnya antara orang tua dan anak. Mereka juga bisa mendengar dan memahami hubungan mereka dengan orang lain. Mereka bisa sadar akan kapan mereka terus terang dan kapan mereka berbohong kepada orang lain. Dengan menggunakan prinsip-prinsip AT, orang-orang bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya., dan mereka bisa mengubah respons-respons belaian dari negatif ke positif.
AT memandang permainan-permainan sebagai penukaran belaian-belaian yg mengakibatkan berlarutnya-larutnya perasaan-perasaan tidak enak. Permainan-permainan boleh jadi memperlihatkan keakraban. Akan tetapi, orang-orang yang terlibat dalam transaksi-transaksi memainkan permainan menciptakan jarak di antara mereka sendiri dengan mengimpersonalkan pasangannya. Transaksi itu setidaknya melibatkan dua orang yang memainkan permainan. Transaksi permainan akan batal jika salah seorang menjadi sadar bahwa dirinya berada dalam permainan dan kemudian memutusakan untuk tidak lagi memainkannya.
Segitiga drama Karpman bisa digunakan untuk membantu orang-orang untuk memahami permainan-permainan. Pada segitiga terdapat seorang penuntut, seorang penyelamat, dan seorang korban.

LOGOTERAPI


Sejarah
Logoterapi dikemukakan oleh Viktor Emile Frankl. Frankl lahir pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa Frankl. Frankl yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dibesarkan dalam keluarga yang religius dan berpendidikan. Ibunya seorang Yahudi yang taat, dan Ayahnya merupakan pejabat Departemen Sosial yang banyak menaruh perhatian pada kesejahteraan sosial. Frankl menaruh minat yang besar terhadap persoalan spiritual, khususnya berkenaan dengan makna hidup.
Pengertian
Logoterapi diperkenalkan oleh Viktor Frankl, seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa (neuro-psikiater). Logoterapi berasal dari kata “logos” yang dalam bahasa Yunani berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi/ psikiatri yang mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will of meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) yang didambakannya.
Ada tiga asas utama logoterapi yang menjadi inti dari terapi ini, yaitu:
1.     Hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup.
2.    Setiap manusia memiliki kebebasan – yang hampir tidak terbatas – untuk menentukan sendiri makna hidupnya. Dari sini kita dapat memilih makna atas setiap peristiwa yang terjadi dalam diri kita, apakah itu makna positif atupun makna yang negatif. Makna positif ini lah yang dimaksud dengan hidup bermakna.
3.    Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mangambil sikap terhadap peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa dirinya sendiri dan lingkungan sekitar.  Contoh yang jelas adalah seperti kisah Imam Ali diatas, ia jelas-jelas mendapatkan musibah yang tragis, tapi ia mampu memaknai apa yang terjadi secara positif sehingga walaupun dalam keadaan yang seperti itu Imam tetap bahagia.

Konsep dasar logoterapi

a. Makna Hidup (Meaning of Life)
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup terkait dengan alasan dan tujuan dari kehidupan itu sendiri. 
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), makna hidup bersifat objektif dan berada di luar diri manusia. Makna hidup bukanlah sesuatu yang merupakan hasil dari pemikiran idealistik dan hasrat-hasrat atau naluri dari manusia. Makna hidup bersifat objektif dan berada di luar manusia karena ia menantang manusia untuk meraihnya. Jika status objektif tidak dimiliki oleh makna, maka makna tidak akan bersifat menuntut dan tidak akan menjadi tantangan. Kekuasaan misalnya, bukanlah merupakan bagian dari manusia itu sendiri, namun sesuatu yang berada di luar diri manusia yang harus dicapai apabila sesorang menginginkannya. Begitu juga dengan makna, apabila seseorang menginginkannya maka dia harus berusaha menggapainya melalui usaha sendiri dan bukan merupakan pemberian dari orang lain.
Makna hidup juga bersifat subjektif. Artinya makna hidup bersifat pribadi dan berbeda pada setiap individu. Sesuatu yang bermakna bagi sesorang bisa jadi tidak mempunyai makna apa-apa bagi orang lain. Subjektivitas ini berasal dari fakta bahwa makna yang akan dan perlu dicapai oleh individu adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya dalam situasi tertentu. Setiap individu adalah unik, juga kehidupannya. Kehidupan seseorang tidak bisa dipertukarkan dengan kehidupan seseorang yang lainnya, juga perspektifnya. Dari masing-masing perspektifnyalah setiap individu melihat dunia nilai-nilai.
Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup bersifat memberi pedoman dan arah. Makna hidup memberikan sebuah arahan terhadap kegiatan dan aktifitas keseharian dalam kehidupan sesorang. Makna hidup merupakan sesuatu yang identik dengan tujuan, hal itu akan menjadi sebuah titik tuju dalam kehidupan seseorang yang akan mengarahkan hidupnya dalam rangka menuju titik tujuan tersebut. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, individu akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan individu pun menjadi lebih terarah kepada pemenuhan itu.
Makna hidup melampaui intelektualitas manusia. Makna hidup tidak bisa hanya dicapai dengan usaha berpikir tanpa adanya usaha implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui sesuatu yang bermakna bagi kita perlu melalui proses intelektual. Namun, hal ini hanya merupakan sebuah pengetahuan belaka dan tidak memberi makna, ketika kita tidak menjalankan sebuah komitmen dan implementasi dari sesuatu yang kita anggap bermakna tersebut. 
Hal ini pula yang menyebabkan Frankl merumuskan bahwa sumber-sumber dari makna hidup tidak hanya dicapai dengan sebatas usaha intelektual. Namun makna hidup dapat dicapai dengan menerapkan nilai-nilai dalam kehidupan. Nilai-nilai ini dianggap sebagai sumber makna hidup. 
Nilai-nilai kehidupan yang dianggap sebagai sumber makna hidup antara lain: nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap (Booree, 2007). 
b. Nilai-nilai Kreatif
Nilai-nilai kreatif merupakan nilai-nilai yang didapat dengan cara beraktivitas secara langsung terhadap suatu pekerjaan yang bisa membawa diri kita merasa bermakna. Pekerjaan ini tidak hanya terbatas pada pekerjaan yang bersifat formal dan menghasilkan uang, namun juga pekerjaan-pekerjan yang bersifat non-profit. Dalam sebuah pekerjaan, Frankl menekankan bahwa apapun pekerjaan itu dapat memberikan makna terhadap individu yang melakukannya.
Yang penting dalam aktivitas kerja bukanlah lingkup atau luasnya, melainkan bagaimana seseorang bekerja sehingga dia bisa mengisi penuh lingkaran aktivitasnya itu. Juga, tidak menjadi soal, apa bentuk aktivitas itu dan siapa yang melaksanakannya. Rakyat kecil atau orang kebanyakan yang secara sungguh-sungguh dan menjalankan tugas kongkret yang memungkinkan diri dan keluarganya hidup, terlepas dari fakta bahwa kehidupannya itu kecil, lebih besar dan lebih unggul dibanding dengan seorang negarawan besar yang menentukan nasib jutaan orang dengan goresan penanya, tetapi putusan-putusannya ceroboh dan membawa berbagai akibat buruk.
Namun disini yang perlu ditekankan bahwa pekerjaan itu sendiri terlepas dari makna, sehingga suatu pekerjaan tertentu tidak bisa menjamin pemenuhan makna. Lagi-lagi semua itu tergantung pada seseorang yang menjalaninya dan mempersepsi dari suatu pekerjaan itu. Dalam pembahasan berkenaan dengan nilai-nilai kreatif ini banyak ditekankan pada hal pekerjaan. Namun disini arah pembahasan Frankl tersebut lebih mengarah pada bagaimana seseoarang berkarya yang dirasa bermanfaat dan bermakna melalui pekerjaan yang dilakukan.
c. Nilai-nilai Penghayatan
Nilai-nilai penghayatan merupakan suatu kegiatan menemukan makna dengan cara meyakini dan menghayati sesuatu. Sesuatu ini dapat berupa kebenaran, kebajikan, keyakinan agama, dan keimanan. Frankl percaya bahwa seseorang dapat menemukan makna dengan menemui kebenaran, baik melalui keyakinan agama atau yang bersumber dari filsafat hidup yang sekuler sekalipun. Keyakinan beragama merupakan salah satu dari berbagai keyakinan yang dapat memberikan makna hidup. 
Dalam keberagamaan orang dapat menemukan makna dan arti dalam kehidupannya. Tidak sedikit orang yang mencurahkan seluruh kehidupannya kepada agama. Selain itu orang-orang sekuler juga dapat menemukan makna di luar hal-hal yang bersifat agama. Seperti orang-orang yang berwatak sosialis, misalnya, mereka merasa menemukan makna dengan memahami filsafat materialis dan mengamalkan ajarannya. Ada juga orang yang dengan meyakini kebenaran-kebenaran universal dan menjalaninya seperti menolong sesama dan menjadi pekerja-pekerja sosial.
d. Nilai-nilai Bersikap
Nilai ini merupakan sikap yang diambil terhadap sebuah penderitaan yang tidak dapat dielakkan atau tak terhindarkan (inavoid moment). Hal ini bisa dalam bentuk kematian seseorang yang dicintai, penyakit yang tak dapat disembuhkan atau kecelakaan yang tragis. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin hal ini sama halnya dengan takdir yang dikenal dalam masyrakat kita. Sikap-sikap yang dikembangkan dalam hal ini antara lain menerima dengan ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak dapat dielakkan. 
Hal ini, menurut Frankl, bisa dilakukan karena manusia mempunyai kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment). Dengan kemampuan ini manusia mampu menjadi hakim terhadap dirinya dan akhirnya bisa menetukan sikap yang tepat terhadap apa yang menimpanya. Ketika seseorang larut dalam sebuah keadaan tragis dan terus meratapinya, Ia cendrung menjadi sebagai objek dari sebuah keadaan dan tidak bisa melihat dan menarik diri serta menjadikan dirinya sebagai subjek yang mengambil kebijakan dalam hidupnya. Karena dengan kemampuan self detachment manusia bisa menjadi subjek sekaligus menjadi objek atas semua perbuatannya.
e. Dimensi Manusia dalam Logoterapi
Logoterapi memandang manusia mempunyai dimensi spiritual, selain dimensi fisik dan dimensi kejiwaan (Fabry, 1980). Dalam aliran-aliran psikologi seperti psikoanalisa dan behavior, spiritualitas sangat diabaikan. Psikoanalisa hanya menekankan pada aspek-aspek psikologis yang merupakan wujud dari tuntutan kebutuhan jasmani. Sedangkan behavior menekankan aspek fisik atau perilaku yang tampak. 
Dalam pandangan logoterapi ketiga dimensi manusia ini (fisik, psikologis, dan spiritual) tidak boleh diabaikan dalam rangka memahami manusia seutuhnya. Dimensi spiritual dalam pandangan Frankl tidak selalu identik dengan agama. Setiap orang mempunyai dimensi spiritual sekalipun pada penganut atheis.
Dimensi spiritualitas dari manusia bersifat universal sebagaimana dimensi fisik dan psikologis. Frankl juga menyebut dimensi spiritual ini dengan “nootic” untuk menghindari term spiritual yang diidentikan dengan agama tertentu. Dimensi spiritual ini merupakan dimensi khas manusia dimana tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebagai dimensi khas manusia, dimensi spiritual (nootic) ini terdiri dari kualitas-kualitas insani seperti hasrat akan makna, orientasi tujuan, iman, cinta kasih, kretivitas, imaginasi, tanggung jawab, self transcendence, komitmen, humor dan kebebasan dalam mengambil keputusan.
Tujuan Logoterapi

Tujuan dari logoterapi adalah agar setiap pribadi:
a.       memahami adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara universal ada pada setiap orang terlepas dari ras, keyakinan dan agama yang dianutnya;
b.      menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat dan diabaikan bahkan terlupakan;
c.       memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan untuk mamp[u tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.

Senin, 01 April 2013

Client Centered Therapy


Client centered therapy adalah terpi yang dikembangkan oleh Carl rogers yang didasarkan kepada asumsi bahwa klien merupakan ahli yang paling baik bagi dirinya sendiri dan merupakan orang yang mampu untuk memecahkan masalahnya sendiri. Tugas terapis juga tidak mengajukan pertanyaan menyelidik, membuat penafsiran, atau menganjurkan serngkaian tindakan. Istilah terapis dalam pendekatan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah fasilitator (Atkinson dkk., 1993).

Rogers mengidentifikasi enam faktor utama yang merangsang pertumbuhan dalam individu. Dia menyarankan bahwa ketika kondisi ini terpenuhi, orang akan tertarik ke arah pemenuhan potensi konstruktif. Menurut teori Rogerian, enam faktor yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah:
1. Terapis-Klien Kontak Psikologis: harus ada hubungan yang berbeda dan dikenali antara terapis dan klien dan harus divalidasi oleh kedua belah pihak.
2. Klien ketidaksesuaian, atau Kerentanan: klien rentan terhadap ketakutan dan kecemasan yang mencegah mereka meninggalkan hubungan atau situasi dan bahwa ada bukti yang jelas tentang ketidaksesuaian antara apa yang klien menyadari dan pengalaman aktual.
3. Therapist Kongruensi, atau keaslian: terbukti bahwa terapis diinvestasikan dalam hubungan dengan klien untuk tujuan penyembuhan. Terapis benar-benar tertarik dalam pemulihan mereka dan dapat mengakses pengalaman mereka sendiri sebagai bantuan dalam proses pemulihan.
4. Terapis Regard Positif Unconditional (UPR): ada unsur yang mengungguli semua orang lain, dan itu adalah unsur penerimaan tanpa syarat. Dengan menyediakan platform keterbukaan dan penerimaan, klien dapat mulai untuk menghilangkan persepsi miring mereka sendiri bahwa mereka dikumpulkan dari orang lain.
5. Therapist pemahaman empatik: klien merasa empati asli dari terapis berkaitan dengan konstruk internal mereka dan persepsi. Ini perasaan empati membantu memperkuat perasaan cinta tanpa syarat.
6. Persepsi Klien: persepsi hal positif tanpa syarat dan penerimaan empatik lengkap dan pemahaman yang dirasakan oleh klien, jika bahkan hanya sedikit.

Tujuan dari client centered therapy adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi pribadi yang dapat berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien dapat menghilangkan topeng yang dikenakannya dan mengarahkannya menjadi dirinya sendiri.

Kekurangan client centered therapy :
Memakan waktu yang cukup lama
Membiarkan konseli dalam sebuah perasaan negative yang bisa menjadi cukup lama
Sulit untuk menemukan waktu dan lingkungan yang selalu positif bagi konseli

Kelebihan client centered therapy :
Mempercayai konseli seutuhnya
Dapat mencapai aktualisasi diri klien yang positif

Sumber :
http://www.goodtherapy.org/Person_Centered.html

Terapi Humanistik Eksistensial


Istilah psikologi humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
Meskipun tokoh-tokoh psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam dunia (being-in-the-world), dan menyadari penuh akan keberadaannya (Koeswara, 1986 : 113). Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya, dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.

Konsep Utama Pendekatan Humanistik Eksistensial
1.           Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri,suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Kesadaran diri membedakan manusia dengan mahluk-mahluk lain. Pada hakikatnya semakin tinggi kesadaran seseorang, semakin ia hidup sebagai pribadi. Meningkatkan kesadaran berarti meningkatkan kesanggupan seseorang untuk mengalami hidup secara penuh sebagai manusia.Peningkatan kesadaran diri yang mencakup kesadaran atas alternatif-alternatif, motivasi-motivasi, faktor-faktor yang membentuk pribadi, dan atas tujuan-tujuan pribadi, adalah tujuan segenap konseling. Kesadaran diri banyak terdapat pada akar kesanggupan manusia, maka putusan untuk meningkatkan kesadaran diri adalah fundamental bagi pertumbuhan manusia.
2.         Kebebasan tanggung jawab, kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tangung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar bagi manusia. Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar manusia yang mana merupakan sesuatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk pertumbuhan kepribadian.
3.       Penciptaan makna
Manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Manusia pada dasarnya selalu dalam pencarian makna dan identitas diri. Manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk yang rasional.

Teknik Terapi
Teori humanistik eksistensial tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur konseling bisa dipungut dari beberapa teori konseling lainnya separti teoriGestalt dan Analisis Transaksional. Tugas konselor disini adalah menyadarkan konseli bahwa ia masih ada di dunia ini dan hidupnya dapat bermakna apabila ia memaknainya.
Kelebihan Terapi Humanistik-Eksistensial
1.      Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri;
2.      Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri;
3.      Memanusiakan manusia.

Kelemahan Terapi Humanistik-Eksistensial
1.      Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal;
2.      Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas;
3.      Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri);
4.      Memakan waktu lama.

Sumber:
http://www.goodtherapy.org/Person_Centered.html

TERAPI PSIKOANALISIS


Psikoanalisa merupakan suatu metode penyembuhan yang lebih bersifat psikologis daripada dengan cara-cara fisik. Tokoh utama dan pendiri psikoanalisa ialah Sigmund Freud, sebagai orang pertama yang mengemukakan tentang konsep ketidaksadaran dalam kepribadian.
Tujuan konseling analitik ialah untuk membentuk kembali struktur karakter individu dengan membuat yang tidak sadar menjadi sadar pada diri klien. Proses konseling dipusatkan pada usaha menghayati kemnalli pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman masa lampai ditata, didiskusikan, dianalisa dan ditafsirkan dengan tujuan untuk merekonstruksikan kepribadian.
Tekhnik-tekhnik dalam psikoanalisa digunakan untuk menungkatkan kesadaran mendapatkan tilikan intelektual kedalam tingkah laku klien, dan memahami makna gejala-gejala yang tampak.
Struktur Kepribadian
• Id
Id (berkembang sejak lahir hingga usia dua tahun) merupakan lapisan psikis yang paling dasar di mana cinta dan kematian berkuasa. Id bersifat primitif, tidak terkendali, dan emosional: “sebuah dunia yang tidak logis”. Naluri bawaan seperti seks, agresif, dan keinginan-keinginan yang direpresi berada di sini. Prinsip kesenangan mendominasi bagian ini sedangkan ruang, waktu, beserta logika yang berkenaan dengan hukum kontradiksi tidak berlaku. Dalam Id energi dipergunakan untuk memuaskan naluri melalui tindakan refleksi dan pemuasan keinginan segera. (jurnal “Mengkaji Lucia Hartini Dan Lukisannya Dari Perspektif Psikoanalisis)
Id adalah struktur paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera.

• Ego
Ego (berkembang sejak berusia dua tahun) beraktivitas di semua lapisan; bersifat sadar manakala melakukan aktivitas sadar seperti persepsi lahiriah, persepsi batiniah, dan proses-proses intelektual; berlaku prasadar saat melakukan fungsi ingatan; dan aktivitas tak sadar Ego dijalankan dengan mekanisme pertahanan (defence mechanisms). Mekanisme pertahanan diri dapat dilakukan dengan cara sublimasi (misalnya mengatasi stres dengan melukis atau olah raga), represi, regresi, fiksasi, identifikasi, proyeksi, penolakan, dan pengalihan (displacement). Mempertahankan keutuhan kepribadian dan adaptasi dengan lingkungan melalui prinsip realitas adalah peran utama Ego. (jurnal “Mengkaji Lucia Hartini Dan Lukisannya Dari Perspektif Psikoanalisis)

• Superego
Superego (berkembang saat berusia tiga tahun dan dipengaruhi orang tua) dibentuk melalui internalisasi larangan atau perintah yang berasal dari luar hingga menjadi sesuatu yang menjadi milik subjek sendiri. Aktivitas Superego sebagai dasar hati nurani saat menyatakan diri dalam konflik dengan Ego yang dirasakan dalam emosi seperti rasa bersalah, menyesal, dan sebagainya. Termasuk di sini observasi diri, kritik diri inhibisi. Jika Superego mempertimbangkan orang lain, maka Id dan Ego bersifat egois. Konsekuensi teori ini terhadap psikoanalisis adalah konflik tidak lagi dianalisis sebagai pertentangan antarnaluri, melainkan pertahanan Ego terhadap dorongan naluriah.

Konsep-konsep terapi Psikoanalisis
Anxiety/Kecemasan
·         Anxiety realita
Adalah rasa takut akan bahaya dari dunia luar dimana individu tidak dapat menerima kenyataan.
·         Anxiety neurotic
Adalah rasa takut yang muncul ketika insting tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan seseorang melakukan sesuatu yang nantinya akan mendapat hukuman
·         Anxiety moral
Adalah rasa takut yang muncul pada orang-orang yang memilki superego yang tinggi, orang-orang dengan perkembangan moral yang baik akan merasa berdosa ketika merka melakukan suatu hal yang bertentangan dengaan nilai moral.

Kelebihan Dan Kekurangan Terapi Psikoanalisis
Kelebihan
·        Terapi ini memiliki dasar teori yang kuat.
·        Dengan terapi ini terapis bisa lebih mengetahui masalah pada diri klien, karena prosesnya dimulai dari mencari tahu pengalaman-pengalaman masa lalu pada diri klien.
·        Terapi ini bisa membuat klien mengetahui masalah apa yang selama ini tidak disadarinya.

Kekurangan
·         Waktu yang dibutuhkan dalam terapi terlalu panjang
·         Memakan banyak biaya bagi klien
·         Karena waktunya lama, bisa membuat klien menjadi jenuh
·         Diperlukan terapis yang benar-benar terlatih untuk melakukan terapi


Sumber :
http://www.goodtherapy.org/Person_Centered.html